Rabu, 25 Desember 2013

Dinasti Abbasiyah



I.     PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Nabi Muhammad saw., setelah resmi diangkat menjadi Rasulullah, menyebarkan ajaran Agama Islam di Jazirah Arab dengan cara sembunyi-sembunyi, setelah pengikut Agama Islam telah banyak dari keluarga terdekat Nabi dan sahabat, maka turun perintah Allah untuk menyebarkan Islam secara terang-terangan. Namun dalam
penyebarannya tidak berjalan mulus, Rasulullah dalam menyebarkan Islam mendapatkan tantangan dari suku Quraisy . Islam disebarkan dan dipertahankan dengan harta dan jiwa oleh para penganutnya yang setia membela Islam meski harus dengan pertumpahan darah dalam peperangan, sehingga Islam dapat berkembang dalam waktu yang relatif singkat.
Sepeninggal Rasulullah saw., kepemimpinan Islam dipegang oleh Khulafā’ al-Rāsyidīn. Pada masa ini Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat, bahkan telah meluas  ke seluruh Wilayah Arab. Meskipun Islam telah berkembang pada masa ini,  namun juga banyak mendapat tantangan dari luar dan dalam Islam sendiri. Seperti pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib banyak terjadi pemberontakan di daerah hingga terjadi perang saudara. Salah satu perang dimasa Ali bin Abi Thalib ialah peperangan antara Muawiyah dengan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang menghasilkan abitrase, sehingga Muawiyah menggantikan posisi Ali bin Abi Thalib. Dampak yang ditimbulkan dari abitrase ini adalah pengikut  Ali bin Abi Thalib bersepakat untuk membunuh Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah karena dianggap telah kafir dan halal dibunuh. Dalam rencana pembunuhan ini, hanya Ali bin Abi Thalib yang berhasil dibunuh.
Berakhirlah masa Khulafā’ al-Rāsyidīn dan digantikan oleh pemerintahan Dinasti Umayyah dibawah pimpinan Muawiyah bin Abi Sofyan. Pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, Islam semakin berkembang dalam segala aspek hingga perluasan daerah kekuasaan.
Setelah pemerintahan Dinasti Umayyah berakhir, maka pemerintahan Islam digantikan oleh pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti kedua dalam sejarah pemerintahan Umat Islam. Abbasiyah dinisbatkan kepada al-Abbas paman Nabi Muhammad saw. Dinasti ini berdiri sebagai bentuk dukungan terhadap pandangan yang diserukan oleh Bani Hasyim setelah wafat  Rasulullah saw., yaitu menyandarkan khilāfah kepada keluarga Rasulullah dan kerabatnya.
B.       Rumusan Masalah
Berangkat dari uraian pada latar belakang di atas, maka penulis menetapkan rumusan permasalahan yang menjadi inti pembahasan dalam makalah ini, yakni sebagai berikut :
1.      Bagaimana proses kelahiran Dinasti Abbasiyah ?
2.      Bagaimana kemajuan-kemajuan Islam yang dicapai pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah ?
3.      Apa yang menjadi penyebab kemunduran Dinasti Abbasiyah ?
4.       Dinasti kecil apa saja yang muncul di barat dan di timur ?

II.  PEMBAHASAN
A.    Lahirnya Dinasti Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H. (750 M.) s. d. 656 H. (1258 M.). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.[1][1]
Pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah,  Bani Abbas telah melakukan usaha perebutan kekuasaan, Bani Abbas telah mulai melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) berkuasa.  Khalifah itu dikenal liberal dan memberikan toleransi kepada kegiatan keluarga Syi’ah. Gerakan itu didahului oleh saudara-saudara dari Bani Abbas, seperti Ali bin Abdullah bin Abbas, Muhammad serta Ibrahim al-Imam, yang semuanya mengalami kegagalan, meskipun belum melakukan gerakan yang bersifat politik. Sementara itu, Ibrahim meninggal dalam penjara karena tertangkap, setelah menjalani hukuman kurungan karena melakukan gerakan makar. Barulah usaha perlawanan itu berhasil ditangan Abu Abbas, setelah melakukan pembantaian terhadap seluruh Bani Umayyah, termasuk khalifah Marwan II yang sedang berkuasa.[2][2]
Bani Abbasiyah merasa lebih berhak daripada Bani Umayyah atas kekhalifahan Islam,  sebab mereka adalah dari cabang Bani Hasyim yang secara nasab lebih dekat dengan Nabi saw.. Menurut mereka,  orang Bani Umayyah secara paksa menguasai khalifah melalui tragedi perang siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan Dinasti Abbasiyah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa, melakukan pemberontakan terhadap Bani Umayyah.[3][3]
Pergantian kekuasaan Dinasti Umayyah oleh Dinasti Abbasiyah diwarnai dengan pertumpahan darah. Meskipun kedua dinasti ini berlatar belakang beragama Islam, akan tetapi dalam pergantian posisi pemerintahan melalui perlawanan yang panjang dalam sejarah Islam.
Disebut dalam sejarah bahwa berdirinya Bani Abbasiyah, menjelang berakhirnya Bani Umayyah I, terjadi bermacam-macam kekacauan yang antara lain disebabkan:
1.      Penindasan yang terus menerus terhadap pengikut Ali dan Bani Hasyim pada umumnya.
2.      Merendahkan kaum Muslimin yang bukan Bangsa Arab sehingga mereka tidak diberi kesempatan dalam pemerintahan.
3.      Pelanggaran terhadap Ajaran Islam dan hak-hak asasi manusia dengan cara terang-terangan.[4][4] 
Oleh karena itu, logis kalau Bani Hasyim mencari jalan keluar dengan mendirikan gerakan rahasia untuk menumbangkan Bani Umayyah. Gerakan ini menghimpun;
a)      Keturunan Ali (Alawiyin) pemimpinnya Abu Salamah;
b)      Keturunan Abbas  (Abbasiyah) pemimpinnya Ibrahim al-Iman;
c)      Keurunan bangsa Persia pemimpinnya Abu Muslim al-Khurasany. [5][5]
Mereka memusatkan kegiatannya di Khurasan. Dengan usaha ini, pada tahun 132 H./750 M. tumbanglah Bani Umayyah dengan terbunuhnya Marwan ibn Muhammad,  khalifah terakhir Bani Umaiyah. Atas pembunuhan Marwan, mulailah berdiri Daulah Abbasiyah dengan diangkatnya khalifah yang pertama, yaitu Abdullah ibn Muhammad, dengan gelar Abu al-Abbas al-Saffah, pada tahun 132-136 H./750-754 M.[6][6]
Pada awal kekhalifahan Bani Abbasiyah menggunakan Kuffah sebagai  pusat pemerintahan, dengan Abu al-Saffah (750-754 M) sebagai Khalifah pertama. Khalifah penggantinya, Abu Ja’far al-Mansur (754-775 M.) memindahkan pusat pemerintahan ke Bagdad. Daulah Abbasiyah mengalami pergeseran dalam mengembangkan pemerintahan, sehingga dapatlah dikelompokkan masa Bani Abbasiyah menjadi lima periode sehubungan dengan corak pemerintahan. Sedangkan menurut asal-usul penguasa selama masa 508 tahun Bani Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa, yakni  Bani Abbas, Bani Buwaihi, dan Bani Seljuk. Adapun rincian susunan penguasa pemerintahan Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut:
a.       Bani Abbas (750-932 M.)
1)      Khalifah Abu Abas al-Saffah (750-754 M.)
2)      Khalifah Abu Jakfar al-Mansur (754-775 M.)
3)      Khalifah al-Mahdi (775-785 M.)
4)      Khalifah al Hadi (775-776 M.)
5)      Khalifah Harun al-Rasyid (776-809 M.)
6)      Khalifah al-Amin (809-813 M.)
7)      Khalifah al-Makmun (813-633 M.)
8)      Khalifdah al-Mu’tasim (833-842 M.)
9)      Khalifah al-Wasiq ( 842-847 M.)
10)  Khalifah al-Mutawakkil (847-861 M.)
b.       Bani Buwaihi (932-107 5M.)
1)      Khalifah al-Kahir (932-934 M.)
2)      Khalifah al-Radi (934-940 M.)
3)      Khalifah al-Mustaqi (943-944 M.)
4)      Khalifah al-Muktakfi (944-946 M.)
5)      Khalifal al-Mufi (946-974 M.)
c.       Bani Saljuk
1)      Khalifah al-Muktadi (1075-1048 M.)
2)      Khalifah al-Mustazhir (1074-1118 M.)
3)      Khalifah al-Mustasid (1118-1135 M.) [7][7]
Abu Su’ud[8][8] dalam bukunya mengemuakakan bahwa pemerintahan Bani Abbasiyah dibagi ke dalam lima periode, yakni :
a.      Periode Pertama (750-847 M)
Pada periode awal pemerintahan Dinasti Abasiyah masih menekankan pada kebijakan perluasan daerah. Kalau dasar-dasar pemerintahan Bani Abasiyah ini telah diletakkan dan dibangun oleh Abu Abbas al-Saffah dan Abu Ja’far al-Mansur, maka puncak keemasan dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, sejak masa Khalifah al-Mahdi (775-785 M.) hinga Khalifah al-Wasiq (842-847 M.). Zaman keemasan telah dimulai pada pemerintahan pengganti Khalifah al-Ja’far, dan mencapai puncaknya dimasa pemerintahan Harun Al-Rasyid. Dimasa-masa itu para Khalifah mengembangkan berbagai jenis kesenian, terutama kesusasteraan pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya.
b.      Periode Kedua (232 H./847 M. – 334H./945M.)
Kebijakan Khalifah al-Mukasim (833-842 M.), untuk memilih anasir Turki dalam ketentaraan kekhalifahan Abasiyah dilatar belakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia, pada masa al-Makmun dan sebelumnya.khalifah al-Mutawakkil (842-861 M.) merupakan awal dari periode ini adalah khalifah yang lemah.
Pemberontakan masih bermunculan dalam periode ini, seperti pemberontakan Zanj didataran rendah Irak selatan dan Karamitah yang berpusat di Bahrain. Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbasiyah pada periode ini adalah; Pertama, luasnya wilayah kekuasaan yang harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Kedua, profesionalisasi tentara menyebabkan ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi. Ketiga, kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah kekuatan militer merosot, khalifah tidak sanggup lagi memaksa pengiriman pajak ke Bagdad.
c.       Periode Ketiga (334 H./945 M.-447 H./1055 M.)
Posisi Bani Abasiyah yang berada di bawah kekuasaan Bani Buwaihi merupakan ciri utama periode ketiga ini. Keadaan Khalifah lebih buruk ketimbang di masa sebelumnya, lebih-lebih karena Bani Buwaihi menganut aliran Syi’ah. Akibatnya kedudukan Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Sementara itu Bani Buwaihi telah membagi kekuasaanya kepada tiga bersaudara. Ali menguasai wilayah bagian selatan Persia, Hasan menguasi wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai wilayah al-Ahwaz, Wasit, dan Bagdad. Bagdad dalam periode ini tidak sebagai pusat pemerintahan Islam, karena telah pindah ke Syiraz dimana berkuasa  Ali bin Buwaihi.
d.      Periode Keempat (447 H./1055M.-590 H./1199 M.)
Periode keempat ini ditandai oleh kekuasaan Bani Saljuk dalam Daulah Abbasiyah. Kehadirannya atas naungan khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaihi di Baghdad. Keadaan khalifah memang sudah membaik, paling tidak karena kewibawannya dalam bidang agama sudah kembali setelah beberapa lama dikuasai orang-orang Syi’ah.
e.       Periode Kelima (590 H./1199 M.-656 H./1258 M.)
Telah terjadi perubahaan besar-besaran dalam periode ini. Pada periode ini, Khalifah Bani Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa, tetapi hanya di Bagdad dan sekitarnya. Sempitnya wilayah kekuasaan khalifah menunjukkan kelemahan politiknya, pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menghancurkan Bagdad tanpa perlawanan pada tahun 656 H./1256 M.
B.     Kemajuan-Kemajuan Dinasti Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah, pada masa kekuasaannya, mamberikan kemajuan bagi kelangsungan Agama Islam, sehingga masa Dinasti Abbasiyah ini dikenal dengan “The Golden Age of Islam. Khilafah di Bagdad yang didirikan oleh al-Saffah dan al-Mansur mencapai masa keemasannya mulai dari al-Mansur sampai Wathiq, dan yang paling jaya adalah periode Harun dan puteranya, Ma’mun. Istana khalifah Harun yang identik dengan megah dan penuh dengan kehadiran para pujangga, ilmuwan, dan tokoh-tokoh penting dunia. Pada masa pemerintahan Harun  tercatat buku legendaries cerita 1001 malam. Kemajuan banyak dicapai pada masa Bani Abasiyah ini, baik segi politik, ekonomi, maupun budaya, sehingga periodenya tercatat sebagai The Golden Age of Islam.[9][9]
Adapun kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh Dinasti Abbasiyah ialah sebagai berikut :
1.      Kemajuan dalam Administrasi
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan diisi Bangsa Arab. Berbeda pada pemerintahan Bani Abbasiyah, orang-orang non-Arab mendapat fasilitas dan menduduki jabatan strategis. Khalifah sebagai kepala pemerintahan, penguasa tertinggi sekaligus menguasai jabatan keagamaan, pemimpin sakral. Disebut juga bahwa para khalifah tidak peduli dan mentaati suatu aturan atau cara yang tetap untuk mengangkat putera mahkota, yaitu sejak masa al-Amin. Pada masa ini, jabatan penting diisi oleh seorang wazir yang menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan yang digariskan oleh Hukum Islam untuk mengangkat dan menurunkan para pegawai. Wazir adalah pelaksana non-militer yang diserahkan sang khalifah kepadanya. Ada dua macam wazir, yaitu wazir yang memiliki kekuasaan yang sangat tinggi (tafwid) dan wazir yang kekuasaannya terbatas (tanfiz)  . Tafwid disebut juga wazir utama atau sekarang sama dengan perdana menteri yang dapat bertindak tanpa harus direstui khalifah, termasuk mengangkat dan memecat para gubernur dan hakim. Pada saat para khalifah lemah, kekuasaan dan kedudukan wazir meningkat tajam. Sementara wazir uang tidak berkuasa penuh, hanya mentaaati perintah khlifah saja.[10][10]
Kalau pada masa Bani Umayyah terdapat lima kementrian pokok, yang disebut diwan, maka pada masa Dinasti Abbasiyah, kelima diwan tersebut ditambah jumlahnya. Kelima kementrian tersebut ialah (1) Diwan al-Jund (war of office). (2) Diwan al-Kharaj (Department of Finance). (3) Diwan al-Rasal (Board of Correspondence). (4) Diwan al-Khatam (Board og Signet). (5) Diwan al-Barid (Postal Department). Kelima diwan ini pada era Abbasiyah ada penambahan diwan diantaranya. (6) Diwan al-Azimah (the Audit and Account Board). (7) Diwan al-Nazri fi al-mazalim (Appeals and Investigation Boars). (8) Diwan al-Nafaqat (the Board of Expenditure). (9) Diwan al-Sawafi (the Board of Crown Land). (10) Diwan al-Diya (the Board of States). (11) Diwan al-Sirr (the Board of Military Infection). Dan, (13) Diwan al-Tawqi’ (the Board Request).[11][11]
Diwan baru lainnya yang dibentuk pada periode Abbasiyah, antara lain, Diwan al-Syurtha  (Police Department). Kepala polisi disebut Sahib al-Surtha, yang beda dengan zaman Umayyah, mereka membagi tugasnya sesuai dengan kondisi wilyah. Tugas mereka paling utama adalah menjamin dan memelihara keamanan, harta, dan nyawa masyarakat. Sementara itu, polisi biasa ada dibawah kendali muhtasib.[12][12] 
Demi kelancaran admiinistrasi, wilayah kekuasaan Abbasiyah dibagi dalam beberapa wilayah administrasi, yang dapat disebut provinsi, dan masing-masing provinsi yang dikepalai seorang Amir yang melaksanakan tugas khalifah dan bertanggung jawab kepadanya. Khalifah yang mengangkat dan memecat atau memindahkan ke Provinsi lain. Pada umumnya, pendapatan provinsi digunakan untuk provinsi dan sisanya di kirim ke pemerintah pusat.[13][13]                                                                                                                                                                                                                                     
2.      Kemajuan dalam Sosial
Philip Khore Hitti mengemukakan bahwa para sejarawan Arab yang lebih berkonsentrasi pada persoalan Khalifah Abbasiyah, lebih mengutamakan persoalan politik dibandingkan dengan persoalan lain, yang menyebabkan mereka tidak begitu memberikan gambaran memadai tentang kehidupan sosial-ekonomi. Dengan adanya asimilasi, Arab-Mawali membawa dinasti ini kehilangan jati diri sebagai bangsa Arab menjadi bangsa majemuk. Untuk memperlancar proses pembaruan antara Arab dengan rakyat taklukan, lembaga poligami, selir, dan perdagangan budak terbukti efektif. Saat unsur Arab murni surut, orang Mawali dan anak-anak perempuan yang dimerdekakan, mulai menggantikan posisi mereka. Aristokrasi Arab mulai digantikan oleh hierarki pejabat yang mewakili berbagai bangsa, yang semula didominasi oleh Persia dan kemudian oleh Turki.[14][14]
3.    Kemajuan dalam Kegiatan Ilmiah
Periode Abbasiyah merupakan era baru dan identik dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Dari segi pendidikan, ilmu pengetahuan termasuk science, kemajuan peradaban, dan kultur pada zaman ini bukan hanya identik sebagai masa keemasan Islam, akan tetapi era ini mengukur dengan gemilang dalam kemajuan peradaban dunia. Semasa Dinasti Umayyah kegiatan dan aktivitas nalar ilmu yang ditanam itu berkembang pesat yang mencapai puncak  pada era Abbasiyah.[15][15] Sebelum Dinasti Abbasiyah, pusat kegiatan dunia Islam selalu bermuara  pada masjid. Masjid dijadikan centre of education. Pada Dinasti Abbasiyah inilah mulai adanya pengembangan keilmuan dan teknologi diarahkan ke dalam ma’had.[16][16]
Pada abad X Masehi disebut abad pembangunan Daulah Islamiyah, dimana dunia Islam, mulai dari Cordon di Spanyol sampai ke Multan di Pakistan, mengalami pembangunan disegala bidang, terutama dalam bidang berbagai macam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Dunia Islam pada masa itu banar-benar dalam keadaan maju, jaya dan makmur.[17][17] Di antara pusat-pusat ilmu pengetahuan dan filsafat yang terkenal ialah Damaskus, Alexandria, Qayrawan, Fustat, Kairo, al-Madaain, Jundeshahpur, dan lain-lain. Banyaknya cendekiawan yang diangkat menjadi pegawai pemerintahan dan istana para Khalifah Abbasiyah, misalnya Mansur yang banyak mengangkat pegawai pemerintahan dan istana dari cendekiawan-cendekiawan Persia. Hal terbesar dan banyak berpengaruh pada mulanya ialah keluarga Barmak, seperti jabatan wazir yang diberikan Mansur kepada Khalid ibn Barmak,  kemudian ke anak dan cucu-cucunya. Mereka ini berasal dari Bactra, dikenal sebagai keluarga yang gemar pada ilmu pengetahuan dan filsafat, yang condong kepada paham Mu’tazilah. Mereka disamping sebagai wazir, juga menjadi pendidik anak-anak khalifah. Diakuinya Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara pada masa Khalifah Ma’mun (827 M). Mu’tazilah adalah aliran yang menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan berfikir kepada manusia. Aliran ini telah berkembang dalam masyarakat terutama pada masa awal Dinasti Abbasiyah, yang banyak memajukan kegiatan intelektual dengan lebih menggunakan rasio baik dalam penerjemahan ilmu-ilmu luar maupun memadukan dengan ajaran Islam. Inilah faktor utama jasa mereka memelihara Yunani dan selanjutnya dikembangkan melalui Kairo, dan selanjutnya ditransfer melalui pusat-pusat kegiatan ilmiah di Eropa Barat Daya seperti Seville, Cordova, al-Hamra.[18][18]
Kepribadian beberapa Khalifah, terutama pada masa awal Abbasiyah seperti Mansur, Harun, dan Ma’mun adalah kutu buku dan sangat mencintai ilmu pengetahuan sehingga berpengaruh dalam kebijaksanaannya yang banyak ditujukan kepada peningkatan ilmu pengetahuan. Selain itu, karena permasalahan yang dihadapi oleh Umat Islam semakin kompleks dan berkembang, oleh karena itu perlu dibuka ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang, khususnya ilmu-ilmu naqli seperti Ilmu Agama, Bahasa, dan Adab. Adapun ilmu aqli seperti Kedokteran, Manthiq, Olahraga, Ilmu Angkasa Luar dan ilmu-ilmu yang lain telah dimulai oleh Umat Islam dengan metode yang teratur. Kegiatan ilmiah di kalangan Umat Islam, semasa Abbasiyah yang menandakan Islam memperoleh kemajuan disegala bidang.[19][19]
Adapun ilmu yang berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah terdiri dari perkembangan ilmu naqli (sumber dari Alquran dan Hadis) yaitu seperti Ilmu Tafsir, Ilmu Hadis, Ilmu Kalam, Ilmu Tasawuf, Ilmu Bahasa, Ilmu Fiqih, serta pembukuan kitab-kitab hukum. Sedangkan perkembangan ilmu aqli diantaranya Ilmu Kedokteran, Ilmu Filsafat, dan lain lain.[20][20]
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa ini, tidak terlepas dari adanya peranan pemerintah. Pada masa kejayaan Islam banyak khalifah mencintai dan mendukung penuh perkembangan ilmu pengetahuan, aktivitas mereka paling menonjol dan besar melalui penerjemahan yang merupakan kegiatan yang paling besar peranannya dalam mentransfer ilmu pengetahuan. Mereka menerjemahkan dari buku-buku asing, seperti bahasa Sansekerta, Suryani, atau Yunani ke dalam Bahasa Arab yang telah dimulai sejak zaman Umayyah. Misalnya, Khalid ibn Yazid, seorang penguasa, pecinta ilmu yang memerintahkan kepada para cendekiawan Mesir atau yang tinggal di Mesir agar mereka menerjemahkan buku-buku tentang kedokteran, bintang, dan kimia yang berbahasa Yunani ke dalam Bahasa Arab. Demikian juga Khalifah Umar II menyuruh menerjemahkan buku-buku kedokteran ke dalam Bahasa Arab.[21][21]
Pada tahun 832 M., Ma’mun mendirikan Bait al-HIkmah di Bagdad sebagai Akademi pertama, lengkap dengan teropong bintang, perpustakaan, dan lembaga penterjemahan. Kepala Akademi ini yang pertama adalah Yahya ibn Musawaih (777-857 M.) murid Gibril ibn Bakhtisyu, kemudian diangkat Hunain ibn Ishaq, murid Yahya sebagai ketua kedua.[22][22]
Sekitar akhir abad ke-10 M., kegiatan kaum Muslim bukan hanya menerjemahkan, bahkan mulai memberikan syarahan (penjelasan), dan melakukan tahqiq (pengeditan). Pada mulanya muncul dalam bentuk karya tulis yang ringkas, lalu dalam wujud yang lebih luas dan dipadukan dalam berbagai pemikiran dan petikan, analisis dan kritik yang disusun dalam bentuk bab-bab dan pasal-pasal. Atas kepekaan mereka, hasil kritik dan analisis itu memancing lahirnya teori-teori baru sebagai hasil renungan mereka sendiri. Misalnya apa yang yang telah dilakukan oleh Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi dengan memisahkan aljabar dari ilmu hisab yang pada akhirnya menjadi ilmu tersendiri secara sistematis. Pada masa inilah lahir karya-karya ulama yang telah tersusun rapi, sehingga pada masa Bani  Abbasiyah muncullah ulama-ulama besar.[23][23]
Para ulama memelihara dan mentransfer ilmu mereka melalui hafalan atau lembaran-lembaran yang tidak teratur. Kemudian barulah pada abad ke-7 M., mereka menulis hadis, fikih, tafsir, dan banyak buku dari berbagai Bahasa Arab dan menjadi buku-buku yang disusun secara sistematis. Di antara kebanggaan zaman pemerintahan Abbasiyah adalah terdapat empat  imam mazhab, yaitu Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad ibn Hanbal. Mereka merupakan para ulama fikih yang paling agung dan tiada bandingannya di dunia Islam.[24][24]
C.      Sebab-Sebab Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Setelah berakhir kekuasaan Dinasti Saljuk atas Bagdad atau Khilafah Abbasiyah, merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, Khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuaasaan suatu dinasti tertentu, sehigga banyak sekali dinasti-dinasti  Islam yang berdiri.[25][25]  Pada masa inilah, Dinasti Abbasiyah mengalami kemunduran.
Adapun faktor-faktor yang menjadi  penyebab kemunduran Dinasti Abbasiyah, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Internal
Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, wilayah kekuasaannnya meliputi barat sampai samudera Atlantik, disebelah timur sampai India dan perbatasan China, dan diutara dari laut Kashpia sampai keselatan teluk Persia. Wilayah kekuasaan Abbasiyah yang hampir sama luasnya dengan wilayah kekuasaan dinasti Mongol, tidak mudah dikendalikan oleh para Khalifah yang lemah. Di samping itu, sistem komunikasi masih sangat lemah dan tidak maju saat itu, menyebabkan tidak cepat dapat informasi akurat apabila suatu daerah ada masalah, konflik, atau terjadi pemberontakan. Oleh karena itu, terjadilah banyak wilayah lepas dan berdiri sendiri. Sebenarnya pasca Khalifah Ma’mun, dinasti ini  mulai mengalami kemunduran. Sementara itu, kejauhan wilayah-wilayah yang terletak di ketiga benua tersebut, dan kemudian  didorong oleh para khalifah yang makin lemah dan malas yang dipengaruhi oleh kelompok-kelompok yang tidak terkendali bagi khalifah.[26][26]
Karena tidak adanya suatu sistem dan aturan yang baku menyebabkan sering gonta-ganti putera mahkota dikalangan istana dan terbelahnya suara istana yang tidak menjadi kesatuan bulat terhadap pengangkatan para pengganti khalifah. Seperti perang saudara antara Amin-Ma’mun adalah bukti nyata. Di samping itu, tidak adanya kerukunan antara tentara, istana, dan elit politik lain yang juga memicu kemunduran dan kehancuran dinasti ini.[27][27]
Dalam buku yang ditulis Abu Su’ud[28][28], disebutkan faktor-faktor intern yang membuat Daulah Abasiyah menjadi lemah kemudian hancur antara lain : (1) adanya persaingan tidak sehat di antara beberapa bangsa yang terhimpun dalam Daulah Abasiyah, terutama Arab, Persia, dan Turki. (2) terjadi perselisihan pendapat di antara kelompok pemikiran agama yang ada, yang berkembang menjadi pertumpahan darah. (3) muncul dinasti-dinasti kecil sebagai akibat perpecahan sosial yang berkepanjangan. (4) akhirnya terjadi kemerosotan tingkat perekonimian sebagai akibat dari bentrokan politik.
2.      Eksternal
Di samping faktor-faktor internal, ada juga faktor ekstern yang menyebabkan dinasti ini terjun kejurang kehancuran total, yaitu serangan Bangsa Mongol. Latar belakang penghancuran dan penghapusan pusat Islam di Bagdad, salah satu faktor utama adalah gangguan kelompok Asasin yang didirikan oleh Hasan ibn Sabbah (1256 M.) dipegunungan Alamut, Iraq. Sekte, anak cabang Syi’ah Isma’iliyah ini sangat mengganggu di Wilayah Persia dan sekitarnya. Baik di Wilayah Islam maupun di Wilayah Mongol tersebut.[29][29]
Setelah beberapa kali penyerangan terhadap Assasin, akhirnya Hullagu, cucu Chengis Khan dapat berhasil melumpuhkan pusat kekuatan mereka di Alamut, kemudian menuju ke Bagdad. Setelah membasmi mereka di Alamut, tentara Mongol mengepung kota Bagdad selama dua bulan, setelah perundingan damai gagal, akhirnya Khalifah menyerah, namun tetap dibunuh oleh Hulagu. Pembantaian massal itu menelan korban sebanyak 800. 000 orang.[30][30]
Abu Su’ud[31][31]  mengemukakan bahwa faktor ekstern yang menyebabkan hancurnya Dinasti Abbasiyah, adalah : (1) berlangsung Perang Salib yang berkepanjangan, dan yang paling menentukan adalah (2) sebuah pasukan Mongol dan Tartar yang dipimpin oleh Hulagu Khan, yang berhasil menjarah semua pusat-pusat kekuasaan maupun pusat ilmu, yaitu perpustakaan di Bagdad.
D.    Dinasti Kecil di Barat dan Timur
Abu Su’ud[32][32] dalam bukunya mengemukakan, bahwa lima tahun setelah berdiri kekhalifahan Abbasiyah, Abd al-Rahman Muda, satu-satunya keturunan Dinasti Umayyah yang selamat dari pembantaia massal. Satu tahun kemudian, tahun 756 M., dia mendirikan sebuah dinasti yang kemudian  menjadi dinasti besar. Selanjutnya  pada 785 M., Idris ibn Abdullah, cicit al-Hasan ikut serta dalam salah satu pemberontakan sengit kelompok Ali di Madinah. Perlawanan tersebut bisa diredam dan dia menyelamatkan diri ke Maroko (al-Maghrib). Di sana berhasil mendirikan kerajaan yang mengabadikan namanya selama hampir dua abad (788-974 M.), berikutnya yaitu Idrisiyah, yang menjadikan Fez sebagai ibukota utamanya adalah dinasti Syi’ah pertama dalam sejarah. Ketika Idrisiyah-Syiah meluaskan daerah kekuasaannya di sebagian Barat Afrika Utara, Aglabiyah Sunni juga melakukan hal yang sama ditimur. Di luar wilayah yang dinamakan Ifriqiyah (Afrika kecil, terutama Tunisia)., Harun al-Rasyid pada tahun 800 M. telah mengangkat Ibrahim ibn al-Aglab sebagai gubernur dan berdiri sendiri dalam memerintah.
Dinasti selanjutnya adalah Ziyadat Allah, merupakan penerus Ibrahim. Dinasti itu menjadi salah satu titik penting dalam sejarah konflik berkepanjangan antar Asia dan Eropa. Dengan armadanya yang lengkap, mereka memporak-poranadakan kawasan pesisir Italia, Prancis, Korsika, dan Sardinia.
Tidak lama setelah tuntas pemberontakan pada penguasa Abbasiyah di Mesir dan Suriah, muncul lagi dinasti Turki lain yang masih keturunan Faghanah  yakni Iksidiyah yang didirikan di Fushtat, pendirinya adalah Muhammad ibn Thughj (935-946 M.). Dinasti sebelum Iksidiyah adalah dinasti Thulun yang berumur pendek (869-905 M.), di Mesir dan Suriah adalah Ahmad ibn Thulun.
Ke wilayah utara, Iksidiyah Mesir memiliki pesaing kuat yaitu Dinasti Hamdaniyah yang Syi’ah, dinasti itu didirikan pertama kali di Mesopotamia dengan Mosul sebagai ibu kota, mereka adalah keturunan Hamdan ibn Hamdun dari suku Thalib, di bawah pimpinan Syaf al-Dawlah.
Saat dinasti-dinasti kecil sebagian besar berasal dari Arab memecah wilayah kekuasaan khalifah di Barat, proses yang sama juga tengah terjadi di timur, terutama dilakukan oleh orang Turki dan Persia. Dinasti yang pertama mendirikan sebuah Negara semi-independen disebelah timur Bagdad adalah orang yang pernah dipercaya al-Ma’mun untuk menduduki  jabatan jenderal yakni Thahir ibn al-Husayn dari Khurasan. Ia pendiri dinasti Tahiriah berkuasa sampai tahun 872 M, dan digantikan oleh Dinasti Saffariyah, bermula di Sijistan dan berkuasa di Persia selama 41 tahun (867-908 M.), didirikan oleh Ya’qub ibn al-Laits al-Saffar. Kemudian dinasti ini digantikan oleh Dinasti Samaniyyah yang didirikan oleh Nashr ibn Ahmad (874-892).
Salah seorang budak Turki yang disukai dan dihargai oleh penguasa Samaniyyah,serta dianugerahi pos penting dalam pemerintahan  adalah Alptigin. Pada 962 M., dia merebut Ghaznah terletak di Afghanistan dari tangan penguasa pribumi dan mendirikan sebuah kerajaan independen dan berkembang menjadi imperium Ghaznawi,.Wilayahnya meliputi Afghanistan dan Punjab (962-1186 M.), pendiri Dinasti Ghaznawi yang sesungguhnya adalah Subuktigin. Enam belas raja Ghaznawi  yang kemudian menggantikannya adalah keturunan langsung darinya.[33][33]

III.              P E N U T U P
A.      Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan sebelumnya, maka dapatlah ditarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :
1.         Dinasti Abbasiyah melanjutkan kekuasaan Bani Umayyah. Dinamakan  Abbasiyah, karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad saw.. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H. (750 M.) s. d. 656 H. (1258 M.). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
2.         Pada masa pemerintahan  Dinasti Abbasiyah, Umat Islam banyak mengalami kemajuan yang sangat pesat, di antaranya dalam bidang administrasi, agama, sosial, ilmu pengetahuan, dan pemerintah.
3.         Kemunduran Dinasti Abbasiyah disebabkan oleh banyak faktor, baik yang sifatnya internal maupun yang sifatnya eksternal.
B.       Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Karenanya, saran dan kritikan yang sifatnya membangun, sangat peulis harapkan dari semua pihak. Wassalam
DAFTAR PUSTAKA
Hassan, Hassan Ibrahim. Tarikh Al-Islam, Kairo:  Maktabah Al-Nahḍoh Al-Misyriyah.
Hitti, K, Philip. Terj. History of The Arabs. cet. I; Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005
Karim, Abdul, M. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam cet.I, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.
Mutrodi, Ali. Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab, cet.I; Ciputat: Wacana Ilmu: 1997.
Su’ud, Abu. Islamologiy. cet. I. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik, cet. I; Bogor: Prenada Media, 2003
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993.





[1][1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam  (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993) h..49
[2][2] Abu Su’ud, Islamologi   (cet. I, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), h. 72. 
[3][3] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam  (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), h. 143.
[4][4] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik  (Cet. I; Bogor: Prenada Media, 2003), h. 47.
[5][5] Ibid, h. 48.
[6][6] Ibid.
[7][7] Hanya disebut sebagian, lebih lengkap lihat, Abu Su’ud, Islamologiy  (Cet. I; Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2003 ), h. 73-74.
[8][8] Lihat, Ibid, h. 74-81
[9][9] M. Abdul Karim, op. cit. h. 167
[10][10] M. Abdul Karim, op. cit., h. 168
[11][11].Ibid, h. 168-169.
[12][12] Ibid, h. 169.
[13][13] Ibid, h. 170
[14][14] M. abdul karim, op. cit., h. 171
[15][15] Ibid, h. 172
[16][16] Lihat, Hassan Ibrahim Hassan, Tarikh al-Islam (Kairo:  Maktabah al-Nahḍoh al-Misyriyah, t.th.) h. 129.
[17][17] Musyrifah Sunanto, op. cit., h. 54.
[18][18] M. Abdul. Karim, op. cit., h. 173
[19][19] Ibid , h. 174-175.
[20][20] Musyrifah Sunanto, op. cit., h. 58-86.
[21][21] M. Abdul Karim, op. cit., h. 175.
[22][22] Ibid., h. 176.
[23][23] Ibid., h. 177.
[24][24] M. Abdul Karim, op. cit., h. 178.
[25][25] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam  (Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 1993), h. 79-80
[26][26] M. Abdul Karim, op.cit., h. 162.
[27][27] Ibid., h. 163.
[28][28] Abu Su’ud, op. cit., h. 81.
[29][29] M. Abdul Karim, op. cit., h. 166-167
[30][30] Ibid., h. 166.
[31][31]  Abu Su’ud, op. cit., h. 81-82.
[32][32]  Abu Su’ud, op. cit., h. 81-82.
[33][33] Ibid., h. 82

Tidak ada komentar:

Posting Komentar