I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Nabi Muhammad saw., setelah resmi diangkat menjadi
Rasulullah, menyebarkan ajaran Agama Islam di Jazirah Arab dengan cara
sembunyi-sembunyi, setelah pengikut Agama Islam telah banyak dari keluarga
terdekat Nabi dan sahabat, maka turun perintah Allah untuk menyebarkan Islam
secara terang-terangan. Namun dalam
penyebarannya tidak berjalan mulus, Rasulullah dalam menyebarkan Islam mendapatkan tantangan dari suku Quraisy . Islam disebarkan dan dipertahankan dengan harta dan jiwa oleh para penganutnya yang setia membela Islam meski harus dengan pertumpahan darah dalam peperangan, sehingga Islam dapat berkembang dalam waktu yang relatif singkat.
penyebarannya tidak berjalan mulus, Rasulullah dalam menyebarkan Islam mendapatkan tantangan dari suku Quraisy . Islam disebarkan dan dipertahankan dengan harta dan jiwa oleh para penganutnya yang setia membela Islam meski harus dengan pertumpahan darah dalam peperangan, sehingga Islam dapat berkembang dalam waktu yang relatif singkat.
Sepeninggal Rasulullah saw., kepemimpinan Islam dipegang
oleh Khulafā’ al-Rāsyidīn. Pada masa
ini Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat, bahkan telah meluas ke seluruh Wilayah Arab. Meskipun Islam telah berkembang pada masa
ini, namun juga banyak mendapat
tantangan dari luar dan dalam Islam sendiri. Seperti pada masa khalifah Ali bin
Abi Thalib banyak terjadi pemberontakan di daerah hingga terjadi perang
saudara. Salah satu perang dimasa Ali bin Abi Thalib ialah peperangan antara
Muawiyah dengan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang menghasilkan abitrase,
sehingga Muawiyah menggantikan posisi Ali bin Abi Thalib. Dampak yang
ditimbulkan dari abitrase ini adalah pengikut
Ali bin Abi Thalib bersepakat untuk membunuh Ali bin Abi Thalib dan
Muawiyah karena dianggap telah kafir dan halal dibunuh. Dalam rencana
pembunuhan ini, hanya Ali bin Abi Thalib yang berhasil dibunuh.
Berakhirlah masa Khulafā’
al-Rāsyidīn dan digantikan oleh pemerintahan Dinasti Umayyah dibawah
pimpinan Muawiyah bin Abi Sofyan. Pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, Islam
semakin berkembang dalam segala aspek hingga perluasan daerah kekuasaan.
Setelah pemerintahan Dinasti Umayyah berakhir, maka
pemerintahan Islam digantikan oleh pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Dinasti
Abbasiyah merupakan dinasti kedua dalam sejarah pemerintahan Umat Islam.
Abbasiyah dinisbatkan kepada al-Abbas paman Nabi Muhammad saw. Dinasti ini
berdiri sebagai bentuk dukungan terhadap pandangan yang diserukan oleh Bani
Hasyim setelah wafat Rasulullah saw.,
yaitu menyandarkan khilāfah kepada
keluarga Rasulullah dan kerabatnya.
B.
Rumusan Masalah
Berangkat dari uraian pada latar belakang di atas, maka
penulis menetapkan rumusan permasalahan yang menjadi inti pembahasan dalam
makalah ini, yakni sebagai berikut :
1. Bagaimana proses kelahiran Dinasti Abbasiyah ?
2. Bagaimana kemajuan-kemajuan Islam yang dicapai pada masa
pemerintahan Dinasti Abbasiyah ?
3. Apa yang menjadi penyebab kemunduran Dinasti Abbasiyah ?
4. Dinasti kecil apa
saja yang muncul di barat dan di timur ?
II. PEMBAHASAN
A.
Lahirnya Dinasti Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn
Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam
rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H. (750 M.) s. d. 656 H. (1258 M.).
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda
sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.[1][1]
Pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, Bani Abbas telah melakukan usaha perebutan
kekuasaan, Bani Abbas telah mulai melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak
masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) berkuasa. Khalifah itu dikenal liberal dan memberikan
toleransi kepada kegiatan keluarga Syi’ah. Gerakan itu didahului oleh
saudara-saudara dari Bani Abbas, seperti Ali bin Abdullah bin Abbas, Muhammad
serta Ibrahim al-Imam, yang semuanya mengalami kegagalan, meskipun belum
melakukan gerakan yang bersifat politik. Sementara itu, Ibrahim meninggal dalam
penjara karena tertangkap, setelah menjalani hukuman kurungan karena melakukan
gerakan makar. Barulah usaha perlawanan itu berhasil ditangan Abu Abbas, setelah
melakukan pembantaian terhadap seluruh Bani Umayyah, termasuk khalifah Marwan
II yang sedang berkuasa.[2][2]
Bani Abbasiyah merasa lebih berhak daripada Bani Umayyah
atas kekhalifahan Islam, sebab mereka
adalah dari cabang Bani Hasyim yang secara nasab
lebih dekat dengan Nabi saw.. Menurut mereka, orang Bani Umayyah secara paksa menguasai
khalifah melalui tragedi perang siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan
Dinasti Abbasiyah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa, melakukan
pemberontakan terhadap Bani Umayyah.[3][3]
Pergantian kekuasaan Dinasti Umayyah oleh Dinasti Abbasiyah
diwarnai dengan pertumpahan darah. Meskipun kedua dinasti ini berlatar belakang
beragama Islam, akan tetapi dalam pergantian posisi pemerintahan melalui
perlawanan yang panjang dalam sejarah Islam.
Disebut dalam sejarah bahwa berdirinya Bani Abbasiyah,
menjelang berakhirnya Bani Umayyah I, terjadi bermacam-macam kekacauan yang
antara lain disebabkan:
1. Penindasan yang terus menerus terhadap pengikut Ali dan Bani
Hasyim pada umumnya.
2. Merendahkan kaum Muslimin yang bukan Bangsa Arab sehingga
mereka tidak diberi kesempatan dalam pemerintahan.
Oleh karena itu, logis kalau Bani Hasyim mencari jalan
keluar dengan mendirikan gerakan rahasia untuk menumbangkan Bani Umayyah.
Gerakan ini menghimpun;
a) Keturunan Ali (Alawiyin) pemimpinnya Abu Salamah;
b) Keturunan Abbas
(Abbasiyah) pemimpinnya Ibrahim al-Iman;
Mereka memusatkan kegiatannya di Khurasan. Dengan usaha ini,
pada tahun 132 H./750 M. tumbanglah Bani Umayyah dengan terbunuhnya Marwan ibn
Muhammad, khalifah terakhir Bani
Umaiyah. Atas pembunuhan Marwan, mulailah berdiri Daulah Abbasiyah dengan
diangkatnya khalifah yang pertama, yaitu Abdullah ibn Muhammad, dengan gelar
Abu al-Abbas al-Saffah, pada tahun 132-136 H./750-754 M.[6][6]
Pada awal kekhalifahan Bani Abbasiyah menggunakan Kuffah sebagai pusat pemerintahan, dengan Abu al-Saffah
(750-754 M) sebagai Khalifah pertama. Khalifah penggantinya, Abu Ja’far
al-Mansur (754-775 M.) memindahkan pusat pemerintahan ke Bagdad. Daulah
Abbasiyah mengalami pergeseran dalam mengembangkan pemerintahan, sehingga
dapatlah dikelompokkan masa Bani Abbasiyah menjadi lima periode sehubungan
dengan corak pemerintahan. Sedangkan menurut asal-usul penguasa selama masa 508
tahun Bani Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa, yakni Bani Abbas, Bani Buwaihi, dan Bani Seljuk.
Adapun rincian susunan penguasa pemerintahan Bani Abbasiyah adalah sebagai
berikut:
a.
Bani Abbas (750-932 M.)
1)
Khalifah Abu Abas al-Saffah (750-754
M.)
2)
Khalifah Abu Jakfar al-Mansur
(754-775 M.)
3)
Khalifah al-Mahdi (775-785 M.)
4)
Khalifah al Hadi (775-776 M.)
5)
Khalifah Harun al-Rasyid (776-809
M.)
6)
Khalifah al-Amin (809-813 M.)
7)
Khalifah al-Makmun (813-633 M.)
8)
Khalifdah al-Mu’tasim (833-842 M.)
9)
Khalifah al-Wasiq ( 842-847 M.)
10)
Khalifah al-Mutawakkil (847-861 M.)
b. Bani Buwaihi (932-107
5M.)
1) Khalifah al-Kahir (932-934 M.)
2) Khalifah al-Radi (934-940 M.)
3) Khalifah al-Mustaqi (943-944 M.)
4) Khalifah al-Muktakfi (944-946 M.)
5) Khalifal al-Mufi (946-974 M.)
c.
Bani Saljuk
1) Khalifah al-Muktadi (1075-1048 M.)
2) Khalifah al-Mustazhir (1074-1118 M.)
Abu Su’ud[8][8] dalam bukunya mengemuakakan bahwa pemerintahan Bani
Abbasiyah dibagi ke dalam lima periode, yakni :
a.
Periode
Pertama (750-847 M)
Pada periode awal pemerintahan Dinasti Abasiyah masih
menekankan pada kebijakan perluasan daerah. Kalau dasar-dasar pemerintahan Bani
Abasiyah ini telah diletakkan dan dibangun oleh Abu Abbas al-Saffah dan Abu
Ja’far al-Mansur, maka puncak keemasan dinasti ini berada pada tujuh khalifah
sesudahnya, sejak masa Khalifah al-Mahdi (775-785 M.) hinga Khalifah al-Wasiq
(842-847 M.). Zaman keemasan telah dimulai pada pemerintahan pengganti Khalifah
al-Ja’far, dan mencapai puncaknya dimasa pemerintahan Harun Al-Rasyid.
Dimasa-masa itu para Khalifah mengembangkan berbagai jenis kesenian, terutama
kesusasteraan pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya.
b.
Periode
Kedua (232 H./847 M. – 334H./945M.)
Kebijakan Khalifah al-Mukasim (833-842 M.), untuk memilih
anasir Turki dalam ketentaraan kekhalifahan Abasiyah dilatar belakangi oleh
adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia, pada masa al-Makmun dan
sebelumnya.khalifah al-Mutawakkil (842-861 M.) merupakan awal dari periode ini
adalah khalifah yang lemah.
Pemberontakan masih bermunculan dalam periode ini, seperti
pemberontakan Zanj didataran rendah Irak selatan dan Karamitah yang berpusat di
Bahrain. Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbasiyah pada
periode ini adalah; Pertama, luasnya wilayah kekuasaan yang harus dikendalikan,
sementara komunikasi lambat. Kedua, profesionalisasi tentara menyebabkan
ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi. Ketiga, kesulitan keuangan
karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah kekuatan militer merosot,
khalifah tidak sanggup lagi memaksa pengiriman pajak ke Bagdad.
c.
Periode
Ketiga (334 H./945 M.-447 H./1055 M.)
Posisi Bani Abasiyah yang berada di bawah kekuasaan Bani
Buwaihi merupakan ciri utama periode ketiga ini. Keadaan Khalifah lebih buruk
ketimbang di masa sebelumnya, lebih-lebih karena Bani Buwaihi menganut aliran
Syi’ah. Akibatnya kedudukan Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah
dan diberi gaji. Sementara itu Bani Buwaihi telah membagi kekuasaanya kepada
tiga bersaudara. Ali menguasai wilayah bagian selatan Persia, Hasan menguasi
wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai wilayah al-Ahwaz, Wasit, dan Bagdad.
Bagdad dalam periode ini tidak sebagai pusat pemerintahan Islam, karena telah
pindah ke Syiraz dimana berkuasa Ali bin
Buwaihi.
d.
Periode
Keempat (447 H./1055M.-590 H./1199 M.)
Periode keempat ini ditandai oleh kekuasaan Bani Saljuk
dalam Daulah Abbasiyah. Kehadirannya atas naungan khalifah untuk melumpuhkan
kekuatan Bani Buwaihi di Baghdad. Keadaan khalifah memang sudah membaik, paling
tidak karena kewibawannya dalam bidang agama sudah kembali setelah beberapa
lama dikuasai orang-orang Syi’ah.
e.
Periode
Kelima (590 H./1199 M.-656 H./1258 M.)
Telah terjadi perubahaan besar-besaran dalam periode ini.
Pada periode ini, Khalifah Bani Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan
suatu dinasti tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa, tetapi hanya di Bagdad dan
sekitarnya. Sempitnya wilayah kekuasaan khalifah menunjukkan kelemahan
politiknya, pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menghancurkan Bagdad
tanpa perlawanan pada tahun 656 H./1256 M.
B.
Kemajuan-Kemajuan Dinasti Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah, pada masa kekuasaannya, mamberikan
kemajuan bagi kelangsungan Agama Islam, sehingga masa Dinasti Abbasiyah ini
dikenal dengan “The Golden Age of Islam. Khilafah di Bagdad yang didirikan oleh
al-Saffah dan al-Mansur mencapai masa keemasannya mulai dari al-Mansur sampai
Wathiq, dan yang paling jaya adalah periode Harun dan puteranya, Ma’mun. Istana
khalifah Harun yang identik dengan megah dan penuh dengan kehadiran para
pujangga, ilmuwan, dan tokoh-tokoh penting dunia. Pada masa pemerintahan Harun tercatat buku legendaries cerita 1001 malam.
Kemajuan banyak dicapai pada masa Bani Abasiyah ini, baik segi politik,
ekonomi, maupun budaya, sehingga periodenya tercatat sebagai The Golden Age of
Islam.[9][9]
Adapun kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh Dinasti
Abbasiyah ialah sebagai berikut :
1.
Kemajuan
dalam Administrasi
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, jabatan-jabatan penting
dalam pemerintahan diisi Bangsa Arab. Berbeda pada pemerintahan Bani Abbasiyah,
orang-orang non-Arab mendapat fasilitas dan menduduki jabatan strategis.
Khalifah sebagai kepala pemerintahan, penguasa tertinggi sekaligus menguasai
jabatan keagamaan, pemimpin sakral. Disebut juga bahwa para khalifah tidak
peduli dan mentaati suatu aturan atau cara yang tetap untuk mengangkat putera
mahkota, yaitu sejak masa al-Amin. Pada masa ini, jabatan penting diisi oleh
seorang wazir yang menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan yang digariskan
oleh Hukum Islam untuk mengangkat dan menurunkan para pegawai. Wazir adalah
pelaksana non-militer yang diserahkan sang khalifah kepadanya. Ada dua macam
wazir, yaitu wazir yang memiliki kekuasaan yang sangat tinggi (tafwid) dan wazir yang kekuasaannya
terbatas (tanfiz) . Tafwid
disebut juga wazir utama atau sekarang sama dengan perdana menteri yang dapat
bertindak tanpa harus direstui khalifah, termasuk mengangkat dan memecat para
gubernur dan hakim. Pada saat para khalifah lemah, kekuasaan dan kedudukan
wazir meningkat tajam. Sementara wazir uang tidak berkuasa penuh, hanya
mentaaati perintah khlifah saja.[10][10]
Kalau pada masa Bani Umayyah terdapat lima kementrian pokok,
yang disebut diwan, maka pada masa Dinasti Abbasiyah, kelima diwan tersebut ditambah jumlahnya.
Kelima kementrian tersebut ialah (1) Diwan
al-Jund (war of office). (2) Diwan al-Kharaj (Department of
Finance). (3) Diwan al-Rasal (Board
of Correspondence). (4) Diwan
al-Khatam (Board og Signet). (5) Diwan
al-Barid (Postal Department).
Kelima diwan ini pada era Abbasiyah ada penambahan diwan diantaranya. (6) Diwan al-Azimah (the Audit and Account Board).
(7) Diwan al-Nazri fi al-mazalim (Appeals
and Investigation Boars). (8) Diwan
al-Nafaqat (the Board of Expenditure). (9) Diwan al-Sawafi (the Board of Crown Land). (10) Diwan al-Diya
(the Board of States). (11) Diwan
al-Sirr (the Board of Military Infection).
Dan, (13) Diwan al-Tawqi’ (the Board
Request).[11][11]
Diwan baru lainnya yang dibentuk pada periode Abbasiyah,
antara lain, Diwan al-Syurtha (Police Department). Kepala polisi
disebut Sahib al-Surtha, yang beda
dengan zaman Umayyah, mereka membagi tugasnya sesuai dengan kondisi wilyah.
Tugas mereka paling utama adalah menjamin dan memelihara keamanan, harta, dan
nyawa masyarakat. Sementara itu, polisi biasa ada dibawah kendali muhtasib.[12][12]
Demi kelancaran admiinistrasi, wilayah kekuasaan Abbasiyah
dibagi dalam beberapa wilayah administrasi, yang dapat disebut provinsi, dan
masing-masing provinsi yang dikepalai seorang Amir yang melaksanakan
tugas khalifah dan bertanggung jawab kepadanya. Khalifah yang mengangkat dan
memecat atau memindahkan ke Provinsi lain. Pada umumnya, pendapatan provinsi
digunakan untuk provinsi dan sisanya di kirim ke pemerintah pusat.[13][13]
2.
Kemajuan
dalam Sosial
Philip Khore Hitti mengemukakan bahwa para sejarawan Arab
yang lebih berkonsentrasi pada persoalan Khalifah Abbasiyah, lebih mengutamakan
persoalan politik dibandingkan dengan persoalan lain, yang menyebabkan mereka
tidak begitu memberikan gambaran memadai tentang kehidupan sosial-ekonomi.
Dengan adanya asimilasi, Arab-Mawali membawa dinasti ini kehilangan jati diri
sebagai bangsa Arab menjadi bangsa majemuk. Untuk memperlancar proses pembaruan
antara Arab dengan rakyat taklukan, lembaga poligami, selir, dan perdagangan
budak terbukti efektif. Saat unsur Arab murni surut, orang Mawali dan anak-anak
perempuan yang dimerdekakan, mulai menggantikan posisi mereka. Aristokrasi Arab
mulai digantikan oleh hierarki pejabat yang mewakili berbagai bangsa, yang
semula didominasi oleh Persia dan kemudian oleh Turki.[14][14]
3.
Kemajuan dalam Kegiatan Ilmiah
Periode Abbasiyah merupakan era baru dan identik dengan
kemajuan ilmu pengetahuan. Dari segi pendidikan, ilmu pengetahuan termasuk
science, kemajuan peradaban, dan kultur pada zaman ini bukan hanya identik
sebagai masa keemasan Islam, akan tetapi era ini mengukur dengan gemilang dalam
kemajuan peradaban dunia. Semasa Dinasti Umayyah kegiatan dan aktivitas nalar
ilmu yang ditanam itu berkembang pesat yang mencapai puncak pada era Abbasiyah.[15][15] Sebelum Dinasti Abbasiyah, pusat kegiatan dunia Islam
selalu bermuara pada masjid. Masjid dijadikan
centre of education. Pada Dinasti Abbasiyah inilah mulai adanya pengembangan
keilmuan dan teknologi diarahkan ke dalam ma’had.[16][16]
Pada abad X Masehi disebut abad pembangunan Daulah
Islamiyah, dimana dunia Islam, mulai dari Cordon di Spanyol sampai ke Multan di
Pakistan, mengalami pembangunan disegala bidang, terutama dalam bidang berbagai
macam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Dunia Islam pada masa itu
banar-benar dalam keadaan maju, jaya dan makmur.[17][17] Di antara pusat-pusat ilmu pengetahuan dan filsafat yang
terkenal ialah Damaskus, Alexandria, Qayrawan, Fustat, Kairo, al-Madaain,
Jundeshahpur, dan lain-lain. Banyaknya cendekiawan yang diangkat menjadi
pegawai pemerintahan dan istana para Khalifah Abbasiyah, misalnya Mansur yang
banyak mengangkat pegawai pemerintahan dan istana dari cendekiawan-cendekiawan
Persia. Hal terbesar dan banyak berpengaruh pada mulanya ialah keluarga Barmak,
seperti jabatan wazir yang diberikan Mansur kepada Khalid ibn Barmak, kemudian ke anak dan cucu-cucunya. Mereka ini
berasal dari Bactra, dikenal sebagai keluarga yang gemar pada ilmu pengetahuan
dan filsafat, yang condong kepada paham Mu’tazilah. Mereka disamping sebagai
wazir, juga menjadi pendidik anak-anak khalifah. Diakuinya Mu’tazilah sebagai
mazhab resmi Negara pada masa Khalifah Ma’mun (827 M). Mu’tazilah adalah aliran
yang menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan berfikir kepada manusia. Aliran ini
telah berkembang dalam masyarakat terutama pada masa awal Dinasti Abbasiyah,
yang banyak memajukan kegiatan intelektual dengan lebih menggunakan rasio baik
dalam penerjemahan ilmu-ilmu luar maupun memadukan dengan ajaran Islam. Inilah
faktor utama jasa mereka memelihara Yunani dan selanjutnya dikembangkan melalui
Kairo, dan selanjutnya ditransfer melalui pusat-pusat kegiatan ilmiah di Eropa
Barat Daya seperti Seville, Cordova, al-Hamra.[18][18]
Kepribadian beberapa Khalifah, terutama pada masa awal
Abbasiyah seperti Mansur, Harun, dan Ma’mun adalah kutu buku dan sangat
mencintai ilmu pengetahuan sehingga berpengaruh dalam kebijaksanaannya yang
banyak ditujukan kepada peningkatan ilmu pengetahuan. Selain itu, karena
permasalahan yang dihadapi oleh Umat Islam semakin kompleks dan berkembang,
oleh karena itu perlu dibuka ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang, khususnya
ilmu-ilmu naqli seperti Ilmu Agama,
Bahasa, dan Adab. Adapun ilmu aqli
seperti Kedokteran, Manthiq, Olahraga, Ilmu Angkasa Luar dan ilmu-ilmu yang
lain telah dimulai oleh Umat Islam dengan metode yang teratur. Kegiatan ilmiah
di kalangan Umat Islam, semasa Abbasiyah yang menandakan Islam memperoleh
kemajuan disegala bidang.[19][19]
Adapun ilmu yang berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah
terdiri dari perkembangan ilmu naqli
(sumber dari Alquran dan Hadis) yaitu seperti Ilmu Tafsir, Ilmu Hadis, Ilmu
Kalam, Ilmu Tasawuf, Ilmu Bahasa, Ilmu Fiqih, serta pembukuan kitab-kitab
hukum. Sedangkan perkembangan ilmu aqli diantaranya
Ilmu Kedokteran, Ilmu Filsafat, dan lain lain.[20][20]
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa ini, tidak terlepas
dari adanya peranan pemerintah. Pada masa kejayaan Islam banyak khalifah
mencintai dan mendukung penuh perkembangan ilmu pengetahuan, aktivitas mereka
paling menonjol dan besar melalui penerjemahan yang merupakan kegiatan yang
paling besar peranannya dalam mentransfer ilmu pengetahuan. Mereka
menerjemahkan dari buku-buku asing, seperti bahasa Sansekerta, Suryani, atau
Yunani ke dalam Bahasa Arab yang telah dimulai sejak zaman Umayyah. Misalnya,
Khalid ibn Yazid, seorang penguasa, pecinta ilmu yang memerintahkan kepada para
cendekiawan Mesir atau yang tinggal di Mesir agar mereka menerjemahkan
buku-buku tentang kedokteran, bintang, dan kimia yang berbahasa Yunani ke dalam
Bahasa Arab. Demikian juga Khalifah Umar II menyuruh menerjemahkan buku-buku
kedokteran ke dalam Bahasa Arab.[21][21]
Pada tahun 832 M., Ma’mun mendirikan Bait al-HIkmah di Bagdad sebagai Akademi pertama, lengkap dengan
teropong bintang, perpustakaan, dan lembaga penterjemahan. Kepala Akademi ini
yang pertama adalah Yahya ibn Musawaih (777-857 M.) murid Gibril ibn Bakhtisyu,
kemudian diangkat Hunain ibn Ishaq, murid Yahya sebagai ketua kedua.[22][22]
Sekitar akhir abad ke-10 M., kegiatan kaum Muslim bukan
hanya menerjemahkan, bahkan mulai memberikan syarahan (penjelasan), dan melakukan tahqiq (pengeditan). Pada mulanya muncul dalam bentuk karya tulis
yang ringkas, lalu dalam wujud yang lebih luas dan dipadukan dalam berbagai
pemikiran dan petikan, analisis dan kritik yang disusun dalam bentuk bab-bab
dan pasal-pasal. Atas kepekaan mereka, hasil kritik dan analisis itu memancing lahirnya
teori-teori baru sebagai hasil renungan mereka sendiri. Misalnya apa yang yang
telah dilakukan oleh Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi dengan memisahkan aljabar
dari ilmu hisab yang pada akhirnya menjadi ilmu tersendiri secara sistematis.
Pada masa inilah lahir karya-karya ulama yang telah tersusun rapi, sehingga
pada masa Bani Abbasiyah muncullah
ulama-ulama besar.[23][23]
Para ulama memelihara dan mentransfer ilmu mereka melalui
hafalan atau lembaran-lembaran yang tidak teratur. Kemudian barulah pada abad
ke-7 M., mereka menulis hadis, fikih, tafsir, dan banyak buku dari berbagai
Bahasa Arab dan menjadi buku-buku yang disusun secara sistematis. Di antara
kebanggaan zaman pemerintahan Abbasiyah adalah terdapat empat imam mazhab, yaitu Abu Hanifah, Malik,
Syafi’i, dan Ahmad ibn Hanbal. Mereka merupakan para ulama fikih yang paling
agung dan tiada bandingannya di dunia Islam.[24][24]
C.
Sebab-Sebab Kemunduran Dinasti
Abbasiyah
Setelah berakhir kekuasaan Dinasti Saljuk atas Bagdad atau
Khilafah Abbasiyah, merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini,
Khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuaasaan suatu dinasti
tertentu, sehigga banyak sekali dinasti-dinasti
Islam yang berdiri.[25][25] Pada masa inilah,
Dinasti Abbasiyah mengalami kemunduran.
Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab kemunduran Dinasti Abbasiyah,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Internal
Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, wilayah kekuasaannnya
meliputi barat sampai samudera Atlantik, disebelah timur sampai India dan
perbatasan China, dan diutara dari laut Kashpia sampai keselatan teluk Persia.
Wilayah kekuasaan Abbasiyah yang hampir sama luasnya dengan wilayah kekuasaan
dinasti Mongol, tidak mudah dikendalikan oleh para Khalifah yang lemah. Di
samping itu, sistem komunikasi masih sangat lemah dan tidak maju saat itu,
menyebabkan tidak cepat dapat informasi akurat apabila suatu daerah ada
masalah, konflik, atau terjadi pemberontakan. Oleh karena itu, terjadilah
banyak wilayah lepas dan berdiri sendiri. Sebenarnya pasca Khalifah Ma’mun,
dinasti ini mulai mengalami kemunduran.
Sementara itu, kejauhan wilayah-wilayah yang terletak di ketiga benua tersebut,
dan kemudian didorong oleh para khalifah
yang makin lemah dan malas yang dipengaruhi oleh kelompok-kelompok yang tidak
terkendali bagi khalifah.[26][26]
Karena tidak adanya suatu sistem dan aturan yang baku
menyebabkan sering gonta-ganti putera mahkota dikalangan istana dan terbelahnya
suara istana yang tidak menjadi kesatuan bulat terhadap pengangkatan para pengganti
khalifah. Seperti perang saudara antara Amin-Ma’mun adalah bukti nyata. Di
samping itu, tidak adanya kerukunan antara tentara, istana, dan elit politik
lain yang juga memicu kemunduran dan kehancuran dinasti ini.[27][27]
Dalam buku yang ditulis Abu Su’ud[28][28], disebutkan faktor-faktor intern yang membuat Daulah
Abasiyah menjadi lemah kemudian hancur antara lain : (1) adanya persaingan
tidak sehat di antara beberapa bangsa yang terhimpun dalam Daulah Abasiyah,
terutama Arab, Persia, dan Turki. (2) terjadi perselisihan pendapat di antara
kelompok pemikiran agama yang ada, yang berkembang menjadi pertumpahan darah.
(3) muncul dinasti-dinasti kecil sebagai akibat perpecahan sosial yang
berkepanjangan. (4) akhirnya terjadi kemerosotan tingkat perekonimian sebagai
akibat dari bentrokan politik.
2.
Eksternal
Di samping faktor-faktor internal, ada juga faktor ekstern
yang menyebabkan dinasti ini terjun kejurang kehancuran total, yaitu serangan
Bangsa Mongol. Latar belakang penghancuran dan penghapusan pusat Islam di
Bagdad, salah satu faktor utama adalah gangguan kelompok Asasin yang didirikan
oleh Hasan ibn Sabbah (1256 M.) dipegunungan Alamut, Iraq. Sekte, anak cabang
Syi’ah Isma’iliyah ini sangat mengganggu di Wilayah Persia dan sekitarnya. Baik
di Wilayah Islam maupun di Wilayah Mongol tersebut.[29][29]
Setelah beberapa kali penyerangan terhadap Assasin, akhirnya
Hullagu, cucu Chengis Khan dapat berhasil melumpuhkan pusat kekuatan mereka di
Alamut, kemudian menuju ke Bagdad. Setelah membasmi mereka di Alamut, tentara
Mongol mengepung kota Bagdad selama dua bulan, setelah perundingan damai gagal,
akhirnya Khalifah menyerah, namun tetap dibunuh oleh Hulagu. Pembantaian massal
itu menelan korban sebanyak 800. 000 orang.[30][30]
Abu Su’ud[31][31] mengemukakan bahwa
faktor ekstern yang menyebabkan hancurnya Dinasti Abbasiyah, adalah : (1)
berlangsung Perang Salib yang berkepanjangan, dan yang paling menentukan adalah
(2) sebuah pasukan Mongol dan Tartar yang dipimpin oleh Hulagu Khan, yang
berhasil menjarah semua pusat-pusat kekuasaan maupun pusat ilmu, yaitu
perpustakaan di Bagdad.
D.
Dinasti Kecil di Barat dan Timur
Abu Su’ud[32][32] dalam bukunya mengemukakan, bahwa lima tahun setelah
berdiri kekhalifahan Abbasiyah, Abd al-Rahman Muda, satu-satunya keturunan
Dinasti Umayyah yang selamat dari pembantaia massal. Satu tahun kemudian, tahun
756 M., dia mendirikan sebuah dinasti yang kemudian menjadi dinasti besar. Selanjutnya pada 785 M., Idris ibn Abdullah, cicit
al-Hasan ikut serta dalam salah satu pemberontakan sengit kelompok Ali di
Madinah. Perlawanan tersebut bisa diredam dan dia menyelamatkan diri ke Maroko
(al-Maghrib). Di sana berhasil mendirikan kerajaan yang mengabadikan namanya
selama hampir dua abad (788-974 M.), berikutnya yaitu Idrisiyah, yang
menjadikan Fez sebagai ibukota utamanya adalah dinasti Syi’ah pertama dalam
sejarah. Ketika Idrisiyah-Syiah meluaskan daerah kekuasaannya di sebagian Barat
Afrika Utara, Aglabiyah Sunni juga melakukan hal yang sama ditimur. Di luar
wilayah yang dinamakan Ifriqiyah (Afrika kecil, terutama Tunisia)., Harun
al-Rasyid pada tahun 800 M. telah mengangkat Ibrahim ibn al-Aglab sebagai
gubernur dan berdiri sendiri dalam memerintah.
Dinasti selanjutnya adalah Ziyadat
Allah, merupakan penerus Ibrahim. Dinasti itu menjadi salah satu titik penting
dalam sejarah konflik berkepanjangan antar Asia dan Eropa. Dengan armadanya
yang lengkap, mereka memporak-poranadakan kawasan pesisir Italia, Prancis,
Korsika, dan Sardinia.
Tidak lama setelah tuntas
pemberontakan pada penguasa Abbasiyah di Mesir dan Suriah, muncul lagi dinasti
Turki lain yang masih keturunan Faghanah
yakni Iksidiyah yang didirikan di Fushtat, pendirinya adalah Muhammad
ibn Thughj (935-946 M.). Dinasti sebelum Iksidiyah adalah dinasti Thulun yang
berumur pendek (869-905 M.), di Mesir dan Suriah adalah Ahmad ibn Thulun.
Ke wilayah utara, Iksidiyah Mesir
memiliki pesaing kuat yaitu Dinasti Hamdaniyah yang Syi’ah, dinasti itu
didirikan pertama kali di Mesopotamia dengan Mosul sebagai ibu kota, mereka
adalah keturunan Hamdan ibn Hamdun dari suku Thalib, di bawah pimpinan Syaf
al-Dawlah.
Saat dinasti-dinasti kecil sebagian
besar berasal dari Arab memecah wilayah kekuasaan khalifah di Barat, proses
yang sama juga tengah terjadi di timur, terutama dilakukan oleh orang Turki dan
Persia. Dinasti yang pertama mendirikan sebuah Negara semi-independen disebelah
timur Bagdad adalah orang yang pernah dipercaya al-Ma’mun untuk menduduki jabatan jenderal yakni Thahir ibn al-Husayn
dari Khurasan. Ia pendiri dinasti Tahiriah berkuasa sampai tahun 872 M, dan
digantikan oleh Dinasti Saffariyah, bermula di Sijistan dan berkuasa di Persia
selama 41 tahun (867-908 M.), didirikan oleh Ya’qub ibn al-Laits al-Saffar.
Kemudian dinasti ini digantikan oleh Dinasti Samaniyyah yang didirikan oleh
Nashr ibn Ahmad (874-892).
Salah seorang budak Turki yang
disukai dan dihargai oleh penguasa Samaniyyah,serta dianugerahi pos penting
dalam pemerintahan adalah Alptigin. Pada
962 M., dia merebut Ghaznah terletak di Afghanistan dari tangan penguasa
pribumi dan mendirikan sebuah kerajaan independen dan berkembang menjadi
imperium Ghaznawi,.Wilayahnya meliputi Afghanistan dan Punjab (962-1186 M.),
pendiri Dinasti Ghaznawi yang sesungguhnya adalah Subuktigin. Enam belas raja
Ghaznawi yang kemudian menggantikannya adalah
keturunan langsung darinya.[33][33]
III.
P
E N U T U P
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan sebelumnya, maka dapatlah
ditarik kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :
1.
Dinasti Abbasiyah melanjutkan
kekuasaan Bani Umayyah. Dinamakan
Abbasiyah, karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan
al-Abbas paman Nabi Muhammad saw.. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah
al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaannya
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H. (750 M.) s. d.
656 H. (1258 M.). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang
diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
2.
Pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, Umat Islam banyak
mengalami kemajuan yang sangat pesat, di antaranya dalam bidang administrasi,
agama, sosial, ilmu pengetahuan, dan pemerintah.
3.
Kemunduran Dinasti Abbasiyah
disebabkan oleh banyak faktor, baik yang sifatnya internal maupun yang sifatnya
eksternal.
B.
Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan. Karenanya, saran dan kritikan yang sifatnya membangun, sangat
peulis harapkan dari semua pihak. Wassalam
DAFTAR
PUSTAKA
Hassan, Hassan Ibrahim. Tarikh
Al-Islam, Kairo: Maktabah Al-Nahḍoh
Al-Misyriyah.
Hitti, K, Philip. Terj. History
of The Arabs. cet. I; Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005
Karim, Abdul, M. Sejarah
Pemikiran Dan Peradaban Islam cet.I, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.
Mutrodi, Ali. Islam Di Kawasan
Kebudayaan Arab, cet.I; Ciputat: Wacana Ilmu: 1997.
Su’ud, Abu. Islamologiy. cet.
I. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam
Klasik, cet. I; Bogor: Prenada Media, 2003
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban
Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993.
[3][3] M. Abdul
Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam
(Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), h. 143.
[7][7] Hanya disebut
sebagian, lebih lengkap lihat, Abu Su’ud, Islamologiy (Cet. I; Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2003 ),
h. 73-74.
[16][16] Lihat, Hassan
Ibrahim Hassan, Tarikh al-Islam
(Kairo: Maktabah al-Nahḍoh al-Misyriyah,
t.th.) h. 129.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar